Mengenai Saya
- Dede Irvan
- Assalamualaikum wr.wb Perkenalkan nama saya Dede Irvan Sekarang saya seorang mahasiswa di kampus STIS-HK yang berorientasi pada tahfidz Qur'an aminn Dulu cita-cita saya adalah sebagai SCIENTIST tapi untuk sekarang aku fokus dulu ke ilmu Syariah islam..tetapi insya Allah sya juga akan kembali ke passion saya dengan demikian saya memadukan keilmuan eksak dengan syariah
Selasa, 12 Mei 2020
BISMILLAH
Bismillah
Dalam ketetapan ilahi tentu hal yang paling tak disukai adalah jika apa yang kita inginan tak sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh tuhan, benar tapi itu adalah sebuah kesalahan pemikiran yang menyesatkan banyak pihak, Allah adalah pencipta kita, tentu ia lebih berhak dan lebih mengetahui mana yang lebih baik bagi kita atau yang buruk yang harus kita tinggalkan, setiap kejadian pasti ada hikmahnya, kita tak pernah tahu bahwa itu benar jika tak pernah mencoba sesuatu yang benar dan kita tak pernah tahu apa yang namanya kesalahan tanpa pernah merasakan apa itu salah, begitu pula dengan apa yang kita impikan apa yang kuia cita-citakan semua itu tak akan selalu sejaan dengan pikiran kita
Sekali lagi saya menegaskan apabila kita dalam posisi di seberang persimpangan kita tak tahu harus melangkah, apakah harus mengikuti alur sesuai dengan apa yang terjadi, ataukah kita mau berubah dan berusaha menjadi yang terbaik dengan cara banyak berdoa dan berikhtiar tentu itu pilihan yang baik, namun itu semua belum cukup karena apa? Apapun itu kita harus kaffah, semuanya, menyeluruh, begitu pula dengan mencari ilmu dan lain sebagai nya, berikhitar dan berdoa itu saja tidak cukup kamu harus istiqomah, sabar, qanaah, berani mengambil resiko, struggle, dan lain sebagainya,,
Ingat sekali lagi kawan, Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi kamu daripada dirimu sendiri, ingat akan hal tersebut, kita harus selalu husnudzan dengan semua ketetapan Allah, dan ingat husnudzan itu saja enggak cukup, seperti yang tadi saya bilang juga, jadi semua harus kaffah, semua sifat kebaikan should be you, harus ada di dalam diri kamu,mulai dari kepedulian sosial, kepekaan sosial, religious, dan lain-lain, tentu yang membaca tulisan saya lebih mengetahui,
See you next time,
Assalamualaikum wr.wb
Perkenalkan nama saya Dede Irvan
Sekarang saya seorang mahasiswa di kampus STIS-HK yang berorientasi pada tahfidz Qur'an aminn
Dulu cita-cita saya adalah sebagai SCIENTIST tapi untuk sekarang aku fokus dulu ke ilmu Syariah islam..tetapi insya Allah sya juga akan kembali ke passion saya dengan demikian saya memadukan keilmuan eksak dengan syariah
Kamis, 14 Februari 2019
Al-Manar
TAFSIR ALMANÂR KARYA
SYEKH MUHAMMAD ABDUH
BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir al Manâr
merupakan salah satu kitab tafsir populer dikalangan peminat studi alQur’ân,
majalah al Manâr, yang memuat tafsir ini secara berkala pada awal abad ke XX tesebar
luas ke seluruh penjuru dunia Islam, dan mempunyai peranan yang tidak kecil
dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama. Itu semua tidak
terlepas dari pengaruh Syekh Muhammad Abduh, lebih-lebih sang murid
Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ pemimpin dan pemilik majalah tersebut serta
penulis tasir al Manâr, yang pemikiran keagamaanya sangat terkenal
di Indonesia.[1]
Tafsir al Manâr yang
bernamaTafsîr al Qur’ân al Hakîmmemperkenalkan dirinya
sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahîh dan
pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’ah serta sunnatullâh(hukum
Allah SWT tertentu) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al Qur’ân sebagai
petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat, serta
membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin dewasa ini (pada
masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu serta (membandingkan
pula) dengan keadaan para salaf (leluhur) yang berpegang teguh
dengan tali hidayah itu.
Tafsir ini disusun
dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghidari istilah-istilah ilmu dan
tekhnis sehingga dapat di mengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan
oleh orang-orang khusus (cendekiawan). itulah cara yang ditempuh oleh filosof
Islam al Ustâz al Imâm Syekh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al
Azhâr.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Syekh Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh lahir
pada tahun 1266 H, bertepatan dengan 1849 M, ayahnya berasal dari desa Mahallat
Nashr di daerah al Bahîrah, sedangkan ibunya berasal dari daerah desa Hashat
Syabsir di al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari keluarga Usman, dari Bani
‘Adi salah satu suku Arab terkemuka. [3]
Pedidikan Muhammad
Abduh dimulai dengan belajar menulis dan membaca dirumah. Ia menghafal al
Qur’ân dalam masa dua tahun, dibawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab
suci. pada tahun 1279 H/1863 M beliau dikirim orangtuanya ke Thanta
untuk meluruskan bacaanya (belajar tajwid) di masjid Ahmaîi.setelah
berjalan dua tahun, barulah ia mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di
masjid itu.
Karena metode
pengajaran (tharîqat al Ta’lîm) yang tidak tepat, setelah satu
setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-apa. Menurut
pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan
kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang Nahwu (ilmu
gramatika bahasa Arab) atau fiqh yang tidak dimengerti artinya.mereka seakan
tidak peduli apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang istilah-istilah
itu. Karena tidak puas, ia meninggalkan Thanta dan kembali ke Mahallat Nashr
dengan niat tidak akan kembali belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi.
Dalam usia 20 tahun,
yakni pada tahun 1282H/1866 M, ia kawin dengan modal niat mau menggarap ladang
pertanian seperi ayahnya. Tetapi empat puluh hari setelah perkawinannya, Ia
dipaksa orangtuanya kembali lagi ke Thanta. Dalam perjalanan ke Thanta itu,
karena panas matahari sangat menyengat, ia lari ke Kanish Urin, tempat tinggal
kaum kerabat ayahnya salah satu dari mereka adalah Syekh Darwisy khadr seorang
alim yang banyak mengadakan pejalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam
ilmu agama Islam. Ia pernah belajar ilmu tharîqat kepada
Sayyid Muhammad al Madinîy. Ia juga mempunyai perhatian besar pada
bidang tafsir al Qur’ân, dan hafal beberapa kitab penting, seperti kitab al
Muwattha’ dan kitab-kitab hadis lainnya.[4]
Maka pada bulan Syawal
1282 H, bertepatan dengan bulan Februari 1866 M, Muhammad Abduh pergi ke al
Azhâr. Keadaan al Azhâr ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa masih dalam
kondisi terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, al Azhâr menganggap
segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku
geografi, ilmu alam, atau fisafat adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah.
Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari imu filsafat, logika,
ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelektual yang
bernama Syekh Hasan Tawîl. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan
Tawîl tampaknya kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di al
Azhâr juga kurang menarik.Ia lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya
sendiri di perpustakaan al Azhâr. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari
matematika, etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin alAfghani
yang datang ke Mesir pada akhir tahun 1286H/1870 M. bersama-sama dengan
teman-temannya, Muhammad Abduh belajar dan berdiskusi dengan tokoh pemimpin
pembaruan itu. Sebagaimana dijelaskan Muhammad Abduh sendiri, mereka
mendapatkan tantangan keras dari para ulama dan sebagian mahasiswa al
Azhâr.karena mempelajari ilmu kalam dan filsafat menurut persepsi mereka yang
tersebut akhir ini, dapat menggoncangkan iman.
B. Fokus Pemikiran Muhammad
Abduh
Ada dua persoalan
pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana diakuinya. Kedua
persoalan itu adalah:
1. Membebaskan akal
fikiran dari belenggu-belenggu taqlîdyang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al ummah (ulama
sebelum abad III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari
sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
2. Memerbaiki gaya bahasa
Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan,
maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.[5]
Namun para pengamat
setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Muhammad Abduh
menyatakan bahwa dibalik kedua hal yang disebutkannya itu terdapat sekian
banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujun-tujuan
tersebut antara lain :
a. Menjelaskan hakikat
ajaran Islam yang murni
Pengamat lain menilai
bahwa apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh tersebut pada hakikatnya
bertujuan untuk memperkokoh segi-segi mental spiritual kaum muslimin dengan
jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiranmereka pada saat-saat
perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat pada abad ke XIX.
Namun apapun tujuannya
Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih
secara utuh apa yang datang dari dunia Barat. Karena disamping hal ini hanya
akan berarti mengubahtaqlîd yang lama kepada taqlîd yang
baru, juga karena hal tersebut tidak dapat dipertemukan karena adanya
perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing
daerah Islam. Menurut Abduh hanya mampu meluruskan
kepincangan-kepincangan peradaban Barat serta membersihkannya dari segi-segi
negatif yang menyertainya. Dengan demikian peradaban tersebut pada akhirnya
akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam sesaat setelah dia mengenalnya dan
dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[7]
C. Pandangan Muhammad
Abduh mengenai Tafsir dan Penafsiran
Muhammad Abduh menilai
kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidaklain kecuali pemaparan
berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari
tujuan diturunkannya al Qur’an.Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut
gersang dan kaku, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada
pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’râb dan
penjelasan lain menyangkut tekhnis-tekhnis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat al Qur’ân.Oleh karena itu, kitab tafsir tersebut cenderung menjadi
semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukannya kitab tafsir yang
sesunguhnya.[8]
Menurut Abduh Allah
tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal-hal tersebut, masyarakatpun tidak
membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah petunjuk-petunjuk yang mengantarkan
mereka kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Dalam bidang
penafsiran Muhammad Abduh menggaris bawahi bahwa dialog al Qurân dengan
masyarakat ummiyyin (awam/tidak tahu tulis baca)bukan berarti
ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum untuk
setiap masa dan generasi. karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai
atau bodoh untuk memahami ayat-ayat al Qurân sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Jalan pemikiran
Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau
penafsirannya terhadap ayat-ayat al Qur’ân, yaitu peranan akal dan peranan
kondisi sosial.
1. Peranan akal
Muhammad Abduh
berpendapat bahwa metode al Qurân dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda
dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya, al Qurân tidak
menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan
masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan
pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut
Abduh, ada masalah agama yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian
logika, sebagaimana diakuinya bahwa ada jaran-ajaran agama yang sukar dipahami
dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.
Dengan demikian,
walaupun wahyu dapat dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui
keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Muhammad SAW,
khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa persoalan
ibadah.
2. Peranan kondisi social
Ajaran agama, menurut
Abduh secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci
adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami
perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan
kondisi sosial.
Dari sini, Abduh
mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mereka mengikuti
hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa menghiraukan perbedaan kondisi
sosial. Hal ini menurut Abduh mengakibatkan kesukaran bagi masyarakat bahkan
mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.
Kaum muslimin telah
menanggalkan agama mereka karena perhatian selama ini hanya tetuju kepada
redaksi ayat-ayat tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat itu
sendiri. Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa dia mengusulkan kepada
para ulama agar mereka menghimpun diri dalam wadah satu organisasi, yang
didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan mencari illat(motif)
dari suatu ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu
kondisi tertentu, hedaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya
berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.Dalam memahami ayat-ayat al
Qurân, terlebih yang menyangkut ayat-ayat hukum, landasan ini tidak pernah
diabaikannya.
Melalui kedua hal
tersebut, Abduh berusaha untuk tujuannya, yakni menjadikan hakikat ajaran Islam
yang murni menurut pandangannya serta menghubungkan ajaran tersebut dengan
kehidupan masa kini.
D. Karakteristik penafsiran
Muhammad Abduh
Dalam menafsirkan al
Qurân, Muhammad Abduh menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaruan
masyarakat dan media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan
kurafat, menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari metode tafsir
yang ditempuh oleh para ahli tafsir kalangan salaf al shalih (kaum
salaf yang shaleh). [9]
Menurut ‘Abd al Salam
perbedaan tersebut terutama dapat dilihat dari sisi latar belakang kultural dan
intelektual yang berbeda dari masing-masing.Kaum salaf menafsirkan
al Qurân justru ketika mereka menjadikan al Qur’ân sebagai pedoman hidup (al
dustur) mereka sedemikian rupa, sehingga al Qur’ân bagi mereka adalah tujuan
(ghayâh). Sedangkan Muhammad Abduh menafsirkan alQur’ân justru pada
waktu umat Islam tidak secara serius lagi berhukum dengan hukum-hukum al
Qur’ân. Dan tafsir bagi Muhammad Abduh menurut ‘Abd al Salam merupakan alat
untuk upaya perbaikan masyarakat Islam dan bukan sebagai tujuan.[10]
Muhammad Abduh dalam
memahami nash-nash agama, disebut-sebut sebagai pengikut kaum
salaf sebelum timbulnya perselisihan ulama. Akan tetapi kesalafan Muhammad
Abduh kelihatan tidak muthlak seratus persen atau sepenuhnya, melainkan
terbatas pada hal-hal tertentu saja, artinya kalaupun ia tidak
mentakwilkan nash-nashagama, maka hal itu terbatas pada nash-nash yang
berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnya dan alam metafisika. Bahkan menurut
penilaian Sulaiman Dunya, dengan menerapkan metode kaum salaf pada satu atau
dua masalah, seseorang belum dapat dikatakan sebagai pengikut
salaf.terhadap nash-nash agama yang berhubungan dengan kemasyarakatan
(muâmalah) dan kealaman (kauniyat) yang pada umumnya diungkap
dalam bentuk dasar-dasar dan global, Muhammad Abduh tidak saja menakwilkan
tetapi juga melakukan perenungan mendalam dan sungguh-sungguh.
Dalam penafsiran al
Qur’ân Muhammad Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori pengembangan
tafsir yang bercorak al Adabîy al Ijtimâ’iy, atau tafsir yang
berorientasi pada satra, budaya, dan kemasyarakatan.[11] M. Quraish Shihab menyatakan yang
dimaksud dengan tafsir bercorak al adabîy alijtimâ’iy adalah
tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’ân pada segi ketelitian
redaksi al Qur’ân, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu
redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al Qur’ân,
yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian
ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia.[12]
Dengan demikian, corak
tafsir Muhammad Abduh mengandung ciri-ciri utama sebagai berikut:
1. Penonjolan ketelitian
redaksi ayat-ayat al Qur’ân
2. Penguraian makna yang
dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati
3. Adanya upaya untuk
menghubungkan ayat-ayat al Qur’ân dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat.[13]
Dalam menonjolkan
ketelitian redaksi ayat-ayat al Qur’ân, Muhammad Abduh antara lain berpendapat
bahwa masing-masing kalimat dalam al Qur’ân tersusun secara serasi dan
harmonis.tidak ada satu kalimatpun dalam al Qur’ân yang didahulukan
atau diterakhirkan untuk tujuan fasilah seperti yang terjadi
dalam sajak dan syair. Adanyafasilah dalam syair adalah karena
keterpaksaan dengan maksud demi pengaturan sajak dan qafiyah.
Sedangkan al Qur’ân,menurut Muhammad Abduh bukanlah kitab syair. Ia
adalah kitab yang bersumber dari Tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu,
Dialah yang meletakkan segala sesuatu pada tempat yang serasi. Maka tidak ada
kata dalam kitab suci alQur’ân yang diletakkan hanya karena
keterpaksaan.
Penafsiran
alQur’ân dengan rumusan redaksi yang indah dan menarik merupakan ciri khas dari
tafsir al adabîy al ijtimâ’iy. Pengungkapan tafsir dengan redaksi
yang indah dan menarik menurut Muhammad Abduh tiada lain untuk menarik jiwa
manusia dan menuntun untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al Qur’ân
agar maksud al Qur’an sebgai petunjuk dan rahmat dapat tercapai dengan baik.
Sedangkan upaya Muhammad Abduh menghubungkan ayat-ayat al Qur’ân dengan hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dimaksudkan agar tafsir dapat diterima
masyarakat dengan mudah, mengingat adanya keterkaitan antara apa yang dikandung
oleh ayat-ayat al Qur’ân dengan kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan
yang dihadapi mereka. Dengan kata lain, masyarakat akan lebih bisa memahami dan
mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al Qur’ân apabila dalam menafsirkan
pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Tafsir alQur’ân dengan
pendekatan serupa pada zaman sekarang disebut dengan tafsir kontekstual.
Oleh
karena itu, tidak berlebihan apabila metode tafsir Muhammad Abduh disebut
sebagai metode tafsir modern yang dibandingkan dengan metode tafsir Analisis (tahlîli)
lainnya. Hal yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa metode Muhammad Abduh
dalam menafsirkan al Qur’ân disandarkan pada sejumlah dasar pokok, yaitu:
1. Setiap surat dalam al
Qur’ân merupakan satu kesatuan ayat terpadu
2. Kandungan ajaran al
Qur’ân berlaku umum untuk sepanjang zaman
3. al Qur’ân merupakan
sumber pertama (al masdar al awwal) dan utama bagi syari’ah
4. Perlunya memerangi
sikap taqlid umat Islam
5. Pentingnya
pendayagunaan metode akal dalam penalaran (al nazhar) dan penggunaan
metode ilmiah (al manhaj al Ilmi)
6. Bersandar pada
otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al Qur’ân
7. Tidak menjelaskan
secara rinci persoalan-persoalan yang disinggung alQur’ân dengan mubham
8. Bersikap sangat
hati-hati terhadap tafsîr bi al ma’tsurterdahulu dan dengan apa yang
disebut berita isra’iliyyat
9. Pentingnya tercipta
keteraturan hidup masyarakat yang mengacu kepada petunjuk-petunjuk kitab suci
al Qur’ân
Dari kesembilan dasar
pokok tersebut, dasar-dasar pokok yang paling relevan dengan upaya Muhammad
Abduh dalam menafsirkan alQur’ân secara rasional adalah dasar penggunaan metode
ilmiah dan dasar kebebasan pendayagunaan akal dalam memahami ayat-ayat al
Qur’ân. Kedua dasar inilah kelihatannya yang menonjol dipegang Muhammad abduh,
karena ia pada dasarnya sangat menghargai potensi akal manusia dalam kerangka
beragama, khususnya dalam upaya memahami petunjuk-petunjuk al Qur’ân dan
takwil.
E. Sumber- sumber
penafsiran Al Manar
Ragam paradigma kajian
memiliki implikasi terhadap pemilihan pendekatan (aproach) yang relevan.
Fungsinalisasi alQur’ân sebagai sumber petunjuk hidayah yang menjadi tujuan
penafsiran al Manâr menurut Muhammad Abduh tidak mudah dicapai tanpa pendekatan
yang tepat dan disertai sumber-sumber yang memadai.Model pendekatan demikian
meniscayakan seorang penafsir membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu yang
diperlukan. Ada dua sumber pengetahuan yang digunakan dalam penulisan al Manâr,
yaitu:
1. Pengetahuan Kebahasaan
Keilmuan bahasa
terdiri dari dua kajian, yaitu kajian semantik dan kajian sastera (asâlib).
Kajian semantik bertujuan untuk mengetahui arti kata-kata yang berlaku
dikalangan Arab. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian secara intensif dan tidak
cukup hanya percaya kepada kata orang. Kajian ini diperlukan mengingat banyak
kata-kata al Qur’ân yang pada masa pewahyuan digunakan dengan banyak arti
tertentu, ternyata pada perkembangan berikutnya digunakan untuk makna lain.
Cara terbaik dalam memaknai ayat adalah dengan menafsirkan ayat itu sesuai
dengan arti kata pada masa pawahyuannya, atau lebih baik lagi dengan
menafsirkan ayat atas dasar penggunaan kata-kata itu sendiri dalam al Qur’ân
yang berserakan diberbagai ayat-ayatnya.
Sedangkan kajian
sastera diarahkan untuk mengetahui gaya bahasa al Qur’ân yang tinggi dalam
rangka menemukan maksud Allah. Meski makna yang hakiki mungkin tidak tercapai
namun melaluikajian ini fungsi hidayah al Qur’ân akan bisa dipahami.
2. Keilmuan
Sosio-Historis
Pendekatan ini terdiri dari tiga kajian,
yaitu:
a. Kajian tentang
kehidupan manusia sepanjang sejarah
b. Kajian tentang latar
belakang mengapa manusia diberi petunjuk
c. Kajian tentang Nabi
dan sejarahnya
F. Corak penafsian
Muhammad Abduh
Ada bermacam-macam
metode dan corak penafsiran al Qur’ân. Dr. Abd al Hay alFarmawi membagi
metode-metode yang yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu:
1. Analisis
2. Komparatif
3. Global
4. Tematik
Metode analisis diatas
bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya adalah corak al
adabîy al ijtima’I (budaya kemasyarakatan).[14] Corak ini menitikberatkan
penjelasan ayat-ayat al Qur’ân pada segi ketelitian redaksinya, kemudian
menyusun kandungannya dalamsuatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi
petunjukal Qur’ân bagi kehiduan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat
tersebut dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia
tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang
sangat dibutuhkan. Tokoh utama corak ini bahkan yang berjasa meletakkan
dasar-dasarnya adalah Syekh Muhammad Abduh.
G. Penulisan Tafsir al
Manâr
Beberapa pengamat
tafsir al Manâr menyebutkan, bahwa pada hakikatnya peletak dasar bangunan al
Manâr terdiri dari tiga tokoh pembaruan dalam Islam, yaitu: Jamal al
Dîn al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, meski mereka sepakat bahwa
penulis karya tafsir itu adalah yang disebut terakhir.[15]
Ketertarikan Rasyid
Ridha terhadap artikel-artikel al Urwah al Wusqa yang pernah
diterbitkan oleh al Afghani dan Muhammad Abduh ketika keduanya bermukim di
Prancis menumbuhkan obsesinya bisa berguru kepada keduanya. Rasyid Ridha
tertarik kepada artikel-artikel majalah itu, khususnya tentang analisisnya yang
selalu rasional, antara lain :
1. Penjelasan tentang
hukum-hukum Allah yang berlaku dalam alam dan masyarakat manusia dan
sebab-sebab kemajuan dan keruntuhan bangsa-bangsa
2. Penjelasan bahwa Islam
adalah agama yang mengatur berbagai dimensi, spiritual, sosial,sipil dan
militer
3. Kaum muslim diikat
menjadi satu oleh agama bukan oleh etnis, bahasa atau pemerintahan. Setelah
datang ke Mesir dan bergabung dengan Muhammad Abduh hal pertama yang diusulkan
untuk dilakukan Abduh adalah menafsirkan alQur’ân yang dijiwai oleh semangat
artikel-artikelal Urwah al Wusqa.[16]
Usulan penafsiran al
Qur’ân yang disampaikan oleh Rasyid Ridha kepada Muhammad Abduh sampi tiga
kali, pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan tahun 1315 H. usulan ini
senantiasa ditolak, meski Muhammad Abduh sendiri menyadari oentingnya penulisan
tafsir al Qur’ân. Dia enggan menulis tentang tafsir berdasarkan dua alasan
yaitu:
1. Tulisan dalam bentuk
buku-buku tidak bermanfaat bagi orang yang berhati buta
2. Ceramah lebih efektif
daripada tulisan
Menurut Muhammad Abduh
pembaca hanya mampu menyerap dua puluh persen (20%) isi tulisan, sedangkan
pendengar ceramah bisa menyerap delapan puluh persen (80%) isi ceramah. Akan
tetapi Muhammad Abduh pernah mendapatkan pengalaman tidak enak ketika
memberikan ceramah tafsir, yang diikuti oleh mahasiswa al Azhâr dan al
Amiriyyah, menurut pengamatannya, para peserta pada umumnya enggan mencatat
hal-hal pentingdari isi ceramahnya.kesan baik justeru ia peroleh dari dua
mahasiswa Kristen koptik yang aktif mencatat kuliah-kuliahnya dan senantiasa
mengkofirmasikan catatan-catatannya kepada Muhammad Abduh. Dia pernah
menyampaikan ceramah tafsir surat al ‘Ashr selama seminggu berturut-turut (satu
setengah sampaidua jam sehari). Sambil mengamati pendengarnya, Muhammad Abduh
hanya melihat satu orang yang mau mencatat, yaitu Abd al Aziz.
Dengan desakan-desakan
yang disertai dengan argumentasi-argumentasi yang disampaikan kepadanya, Rasyid
Ridha akhirnya berhasil meyakinkan Muhammad Abduh sehinga bersedia mengajar
tafsir dalam bentuk ceramah dengan mengambil tempat di komplek al Azhar. selama
kurang lebih enam tahun, Muhammad abduh berhasil menafsirkan al Qur’ân sebanyak
lima juz (mulai dari surat al Fâtihah sampai dengan surat al Nisâ ayat 129
selama kira-kira enam tahun (mulai dari awal Muharram sampai pertengahan
Muharram 1323 H.
Dalam menyampaikan
kuliahnya Muhammad Abduh berpegang kepada teks tafsîr al Jalâlain[17] yang dianggapnya sebagai karya
karya tafsir yang paling ringkas. berbeda dengan para penafsir sebelumnya,
Muhammad Abduh justeru menjelaskan secara singkat hal-hal yang telah dijelaskan
oleh para penafsir sebelumnya secara luas, misalnya penjelasan tentang
kata-kata, I’râb, balâghah, dan riwayat yang tidak diperlukan.
Sebaliknya dia justeru memperluas keterangan pada bagian yang terabaikan dalam
tafsir-tafsir sebelumnya, sambil melakukan kritik seperlunya. Dalam
penafsirannya Muhammad Abduh mengandalkan inspirasi yang diperolehnya dari
Allah SWT. Atas desakan dari berbagai pihak, khususnya para pembaca majalah
alManar, materi-materi penting yang dicatat oleh Rasyid Ridha selama mengikuti
kuliah tafsir di al Azhar itu diterbitkan dalam majalah tersebut sejak awal
Muharram 1318 H (setahun setelah kuliah berlangsung) pada volume ketiga.
Ketika meninggal
Muhammad Abduh dalam kuliahnya baru menafsirkan sampai dengan al Nisâ ayat 125
atau hampir lima juz pertama dari al Qur’ân. Selanjutnya Rasyid Ridha
melanjutkan sampai dengan surat Yusuf ayat 101, sebelum dia meninggal dunia.
Namun tafsir al Manâr yang diterbitkan dalam bentuk buku seperti
yang dilihat sekarang hanya memuat penafsiran Rasyid Ridha sampai dengan ayat
52 surat Yusuf, yaitu ayat terakhir juz 12. Dalam bentuk buku karya, tafsir ini
diterbitkan dengan tambahan-tambahan dari apa yang telah diterbitkan dalam
bentuk sebuah artikel pada majalah al Manâr. Uraian tambahan itu ditunjukkan
dengan kata-kata Rasyid Ridha: “sekarang saya tambahkan”, “sekarang
saya katakan” atau “saya berkata”.
H. Pendapat Ulama
Meski tulisan Muhammad
Husein al Zahabi tidak fokus kepada tafsir al Manâr saja, namun pembahasannya
tentang al Manâr cukup resfentatif dan sering menjadi rujukan dalam studi-studi
tafsir al Qur’ân. Dalam karyanya yang berjudul al Tafsîr wa al Mufassirûn[18], al Zahabi menyatakan bahwa Abduh dengan
metodenya telah melahirkan aliran atau corak baru dalam sejarah penafsiran al
Qur’ân. aliran baru yang diciptakannya itu menurutnya adalah al adâbiy
al ijtima’iy yang diberi pengertian sebagai mengkaji al Qur’ân dengan
pertama-tama berusahauntuk menunjukkan kecermatan ungkapan bahasanya,
dilanjutkan dengan merajut makna-makna yang dimaksunya dengan cara menarik, kemudian
di usahakan eksplorasi penerapan nash kitab suci dalam kenyataanya sesuai
dengan hukum-hukum yangberlaku dalam kehidupan masyrakat dan untuk membangun
peradaban.
al Zahabi menilai
bahwa aliran yang diprakarsai oleh Abduh disamping memiliki kebaikan-kebaikan
juga mempunyai cacat. Kebaikan-kebaikan yang dengan terus terang ditunjukkannya
adalah:
1. Tidak terpengaruh oleh
mazhab
2. Bersikap kritis
terhadap riwayat-riwayat israiliiyat
3. Tidak tertipu oleh
hadis-hadis dha’if dan maudhu’
4. Menjauhkan tafsir dari
istilah tekhnis keilmuan (bahasa Arab)
Disamping itu dia
menyebutkan kebaikan lain yang dimiliki aliran ini, yaitu metode semantik
sosial yang digunakannya.melaui metode ini Muhammad Abduh dengan alirannya
berusaha untuk:
1. Mengungkapkan
keindahan bahasa dan kemukjizatan al Qur’ân
2. Menjelaskan makna dan
maksud-maksudnya
3. Menunjukkan
hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan masyarakat manusia
4. Menawarkan solusibagi
problem-problem yang dihadapi kaummuslim pada khususnya dan bangsa-bagsa di
seluruh dunia pada umumnya
5. Mempertemukan kebaikan
dunia dan akhirat
6. Memadukan al Qur’ân
dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang valid
sedangkan kejelekannya
menurut al Zahabi adalah sikapnya memberikan kebebasan yang besar terhadap
akal.
I. Tafsir al Manâr
tentang ayat-ayat poligami
Secara umum, terdapat
masalah-masalah yang tidak kalah penting terkait seputar metode penafsiran atas
nash al Qur’ân yang kemudian menjadi adat kebiasaan pada umumnya, yaitu masalah
poligami.[19] al Qur’ân secara jelas membolehkan
untuk melakukan poligami dan al Qur’ân telah menetapkan hukum dengan membatasi
hanya sampai empat isteri.
Frman Allah dalam
surat al Nisâ ayat 3:
وَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتُقْسِطُوافِيالْيَتَامَىفَانْكِحُوامَاطَابَلَكُمْمِنَالنِّسَاءِمَثْنَىوَثُلَاثَوَرُبَاعَفَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةًأَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْذَلِكَأَدْنَىأَلَّاتَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita lain yang kamu
senangi dua, tiga dan empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil maka kawinilah seorang sajaatau budak yang kamu miliki
Maksud ayat di atas
menurut Muhammad Abduh adalah tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian
wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak yatim perempuan,
tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta si anak
yatim, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah mengawini
anak yatim itu. Pada satu sisi al Qur’ân membatasi jumlahnya sampai empat,
disisi lain tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi isteri akan sejajar dengan
akses harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan
pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks perlakuan yang
adil terhadap anak yatim.
Muhammad Abduh juga
menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan
oleh Aisyah r.a dalam surat al Nisâ’: 127 yang artinya: “Dan kamu mempunyai
keinginan untuk menikahi mereka (anak-anak yatim itu)” maksudnya adanya
perasaan di hati untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka
dilarang untuk menikah kecuali kalau niatnya betul-betul lurus dari hati.
Ibn jarir berkata:
ayat diatas adalah larangan menikah lebih dari empat karena dikhawatirkan akan
hilangnya harta anak yatim. Hal ini terjadi pada seseorang Quraisy yang
mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka habislah harta tadi yang digunakan
untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang lain, oleh sebab itu dilarang cara
semacam ini.
Abduh berkata: ayat di
atas menjelaskan tentang jumlah isteri dalam pembahasan anak yatim dan
pelarangan memakan harta mereka. Seandainya kamu khawatir memakan harta mereka
bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai
berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja.
Izin yang diberikan
dalam ayat tersebut mengenai poligami dibatasi dengan persyaratan, yaitu
apabila sang suami itu memiliki akhlak yang baik, dan secara ekonomis dia mampu
untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau lebih secara adil dalam setiap
kondisi, serta mampu menghindarkan dari dari perilaku yang yang dapat menyulut
perpecahanantara kedua isteri tersebut.[20]
Urgensi poligami pada
awal Islam adalah untuk menjaga hubungan keturunan dan gengsi kesukuan yang
pada masa sekarang sudah tidak ada lagi. Pada saat ini
kemudharatan-kemudharatan yang muncul dari poligami sering menghinggapi anak,
bapak dan saudara-saudara yang memicu terjadinya konflik dan permusuhan,
seperti perebutan hak-hak anak terhadap isteri-isteri yang lain dan adanya
perilaku pilih kasih kepada salah seorang isteri yang dicintai. Dampak yang
muncul akhirnya adalah terjadi pencurian, zina, khianat dan sampai kepada
pembunuhan. Sedangkan dalam praktek poligami Muhammad Abduh menilai
tidak adanya pendidikan terhadap umat, maka beliau merekomendasikan agar para
ulama mengkaji ulang masalah ini terutama para pengikut mazhab Hanâfiy, karena
agama selalu menerapkan kemaslahatan bagi manusia. Maka wajib untuk mengubah
hukum dan menyesuaikan dengan zaman. Maka kesimpulan akhir menurut Muhammad
Abduh adalah poligami hukumnya haram karena khawatir tidak dapat berlaku adil.
Berdasarkan hal itu
Muhammad Abduh mengambil beberapa kesimpulan, bahwa sesungguhnya kebolehan
melakukan poligani harus dibarengi dengan beberapa kualifikasi yang sangat
sulit untuk dilakukan yang karena sulitnya seakan-akan poligami itu menjadi
sebuah larangan(haram).tetapi kemudian Muhammad Abduh lebih jauh menyatakan: Dan
ingatlah bahwa masalah yang terkait dengan poligami yang kita lihat dan kita
dengar itu tidak memiiki unsur pendidikan sama sekali terhadap umat. Maka
merupakan sebuah keharusan bagi para ulama untuk meninjau kembali masalah ini,
khususnya penganut mazhab Hanafi yang telah menetapkan adanya bentuk poligami,
padahal mereka semua tidak mengingkari bahwa agana Islam diturunkan bertujuan
bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia, sedangkan salah satu asas
fundamentalnya adalah mencegah kemudharatan dan perilaku yang membayakan.jika
penerapan paham keagamaan dalam masa tertentu itu sudah tidak memiliki
relevansi lagi dengan masa kini, maka yang harus dilakukan adalah mengganti
hukum dan penetapannya tersebut sesuai dengan masa kini, berdasarkan
kaidah ushul yang berbunyi:“meninggalkan kemudharatan itu
didahulukan daripada menarik sebuah kemanfa’atan. Kemudian sang mufti
mengakhiri pernyataannya berdasarkan asusmsi dasar ini, maka agama Islam
mengajarkan bahwa poligami itu merupakan sebuah larangan (haram) bagi orang-orang
yang takut tidak dapat berlaku adil.
Muhammad Abduh sendiri
menemukan dalam al Qur’ân sebuah legitimasi atas prinsip dasar monogami secara
implisit dalam hukum waris (surat al Nisâ). Hal ini disebabkan karena ketika
seorang laki-laki melakukan poligami, kemudian laki-laki tersebut meninggal
dunia maka para isteri akan berebut bagian waris masing-masing.
Hikmah paling nyata
dari larangan poligami adalah petunjuk Tuhan kepada kita supaya dalam perilaku
pernikahan, pada dasarnya bagi seorang laki-laki itu mencukupkan diri untuk
menikahi satu isteri saja karena praktek poligami ini akan menimbulkan berbagai
kemudharatan. Tetapi poligami dalam pandangan syari’ah merupakan masalah yang
jarang danbukan merupakan suatu hal yang dituju, sehingga hukumnya tidak
dilestarikan.setiap hukum itu ditetapkan berdasarkan pada prinsip yang menjadi
landasan pelaksanaannya pada umumnya, sedangkan dalam konteks-konteks tertentu
tidak ada hukum.
BAB III
ANALISIS
Tafsir al Manât
merupakan tafsir paling modern yang diprakarsai oleh seorang pembaharu yaitu
Muhammad Abduh bersama muridnya Syekh Rasyid Ridha, munculnya tafsir
ini dilatar belakangi oleh keadaan sosial pada waktu itu sangat kaku dan beku
model penafsiran. Sehigga para penafsir sangat sempit dalam menafsirkan
alQur’ân dan belum adanya pekembangan intelektual yang sangat dinamis.
Dengan munculnya
tafsir al manâr yang dijadikan rujukan bagi para penafsir selanjutnya maka al
Qur’ân memang betul terasa membumi pada masa tersebut dan berkenaan tentang
kehidupan masyarakat. Mereka memandang al Qur’ân bukan hanya teori-teori yang
berkisarantara masalah“kelangitan” dan berputar-putar pada masalah akhirat,
surga dan neraka. namun al Qur’ân juga berbicara tentang hubungan manusia
dengan manusia, agama dengan agama lain dan masalah lainnya. Namun penulis
melihat bahwa dalam tafsir al Manâr ini sangat dikedepankan akal dan sangat
kurang sekali dalam memahami pemahaman syari’at Islam secara utuh tetapi selalu
melihat pertentangan syari’ah dengan kondisi dari segi negatif bukan dari segi
positif, sehingga terkesan menyalahkan hukum yang terdahulu.
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
1. Kitab tafsir al Manâr
berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui metode
budaya-kemasyarakatan dengan menetapkan prinsipbaru
2. Para penafsir ini
walau menekankan perlunya menghindari prakonsepsi dengan menetapkan bahwa al
Qur’ân adalah sumber ajaran, sedang pendapat-pendapat akidah dan mazhab harus
bersumber dari al Qur’ân, namun dalam kenyataan penafsiran mereka, hal tersebut
masih dirasakan
3. Tafsir ini pada
dasarnya ingin memfokuskan tujuan utama dari diturunkannya al Qur’ân, yakni
sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problem umat manusia
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Rasionalitas
al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr, Jakarta: Lentera
Hati, 2006
Muhammad Rasyid
Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh Muhammad Abduh,
Mesir: Dâr al Imân, 1367 H
Abdul Athi’ Muhammad
Ahmad, al Fikr al Shiyâsiy li al Imâm Muhammad Abduh, Kairo: al
Hai’ah al Mishriyah li al Kitab, 1978
Muhammad Imarah, al
Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh, Beirut: al Muassasah al Arabiyah li
al Dirasat wa Nshr, 1972
Syekh Muhammad Abduh, Fathah al
Kitâb, Kairo: Kitab al Thahrîr, 1382
Rif’at Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat, Jakarta:
Paramadina, 2002
Abd al Hay al
Farmawi, al Bidâyah fi al Tafsîr al Maudhu’i, Kairo: al Hadraf al
Arabiyah, 1977
Saifullah, Pluralisme
Agama: Persfektif tafsir al Manâr, Disertasi SPS UIN Jakarta,2009
Jalâl al Din Muhammad
Ibn Ahmad al Mahalli dan Jalâl al Din Abd al Rahman Ibn Abi Bakar al
Suyuti karya ini diterbitkan dengan judul tafsîr al Qur’ân
al Azim
Muhammad Husein al Zahabi, al
Tafsîr wa al Mufassirûn,tt.p, tp, 1981
Ignaz Goldziher, Mazhab
Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern judul asli:Mazhab al Tafsîr al
Isilâmiy, Yogyakarta: Elsaq, 2006
Syekh Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsîr al Qur’ân al ‘Azîm al Masyhur bi al Tafsîr al Manâr,
Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999
[1]M. Quraish
Shihab, Rasionalitas al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr(selanjutnya
disebut Rasionalitas al Qur’ân), (Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 83
[3]Muhammad Rasyid
Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh Muhammad Abduh,
(Mesir: Dâr al Imân, 1367 H), J. III, h. 237
[6]Abdul Athi’ Muhammad
Ahmad, al Fikr al Shiyâsiy li al Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: al
Hai’ah al Mishriyah li al Kitab, 1978), h. 99
[7]Muhammad Imarah, al
Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh, (Beirut: al Muassasah al Arabiyah
li al Dirasat wa Nshr, 1972), h. 331
[9] Rif’at Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat, (Jakarta:
Paramadina, 2002), h. 109
[14]Abd al Hay al Farmâwi,
al Bidâyah fi al Tafsîr al Maudhu’i, (Kairo: al Hadraf al Arabiyah 1977), h.23
[17]Karya tafsir ini
ditulis oleh Jalâl al Din Muhammad Ibn Ahmad al Mahalli dan Jalâl al Din Abd al
Rahman Ibn Abi Bakar al Suyuti karya ini diterbitkan dengan
judul tafsîr al Qur’ân al Azim
[19] Ignaz
Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern(judul asli:Mazhab
al Tafsîr al Islamiy), (Yogyakarta: Elsaq, 2006), h. 441
[20] Syekh Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsîr al Qur’ân al Azhîm al Masyhûr bi al Tafsîr al
Manâr, (Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999), h. 284
[U1]Referensi tugas ulumul hadis
Assalamualaikum wr.wb
Perkenalkan nama saya Dede Irvan
Sekarang saya seorang mahasiswa di kampus STIS-HK yang berorientasi pada tahfidz Qur'an aminn
Dulu cita-cita saya adalah sebagai SCIENTIST tapi untuk sekarang aku fokus dulu ke ilmu Syariah islam..tetapi insya Allah sya juga akan kembali ke passion saya dengan demikian saya memadukan keilmuan eksak dengan syariah
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari Blog Ini lo
BISMILLAH
Bismillah Dalam ketetapan ilahi tentu hal yang paling tak disukai adalah jika apa yang kita inginan tak sejalan dengan apa yang telah diga...